- Energi fosil seperti bensin dan solar semakin mahal, perlu dicari energi alternatif yang ramah lingkungan yang harganya dapat dijangkau masyarakat luas..SEL-SEL sebesar kancing baju itu tak ubahnya baterai. Tiap butir "kancing" berisi ratusan hingga ribuan voltase listrik. Bayangkan jika butiran sel itu dirangkai dalam satu panel. Ia bisa berubah menjadi motor penggerak generator. Bila generator itu dinyalakan, listrik beberapa rumah akan menyala dalam seketika. Byar....
Ismunandar, 38 tahun, terpikat pada kemampuan sel yang populer disebut fuel cell atau sel bahan bakar itu. Di Jepang, teknologi sel ini tidak hanya dipakai untuk pembangkit listrik, tapi juga buat bahan bakar mobil-mobil mewah seharga Rp 1 miliar. Amerika, Prancis, Jerman, dan Inggris menggunakannya untuk beragam fungsi: dari bahan bakar kendaraan hingga baterai notebook dan telepon seluler.
Meski teknologi ini sudah berkembang demikian pesat, Ismunandar, guru besar termuda bidang kimia fisika dan anorganik Institut Teknologi Bandung, masih melihat ada celah temuan yang bisa dimanfaatkan ilmuwan Indonesia. Celah itu berupa tantangan menemukan sejumlah kekayaan alam Tanah Air untuk dijadikan bahan bakar alternatif bagi teknologi ini.Maka Ismu bersama timnya selama hampir tiga tahun sibuk meneliti oksida padat berbahan mentah keramik dan semen. Banyak tersebar di Indonesia, materi itu bisa diolah menjadi butiran sel bahan bakar yang menghasilkan energi listrik. Mereka mempublikasikan temuan itu Mei tahun lalu. "Hasilnya, efektivitas energi sel bahan bakar temuan ITB mencapai 70 persen," ujar Ismu. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding bahan bakar bensin, yang hanya 30 persen.Teknologi fuel cell sebenarnya bukan barang baru. William Robert Grove menemukannya di London pada 1832. Fuel cell adalah sistem pembangkit listrik yang dihasilkan dari proses elektrokimia percampuran gas hidrogen dan oksigen. Proses tersebut akan mengubah hidrogen dan oksigen menjadi air-pada saat bersamaan menghasilkan listrik dan panas. Dalam proses ini sama sekali tak ada pembakaran. "Karena itu, tak ada polusi yang merusak lingkungan," kata Ismu, yang merupakan Ketua Kajian Keilmuan Kimia Anorganik dan Fisik di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB.Secara sederhana, sel bahan bakar dapat dipahami seperti ini: bayangkanlah batu baterai yang dipakai untuk menyalakan lampu senter. Jika daya baterai melemah atau ludes, tak ada cara selain membeli batu baterai baru agar lampu tetap menyala. Nah, fuel cell adalah baterai yang dapat diisi bahan bakar untuk mendapatkan energi kembali. Bahan bakar baterai itu berupa hidrogen dan oksigen-bahan bakar terbarukan atau tak akan pernah habis.Layaknya sebuah baterai, segala jenis fuel cell memiliki elektroda positif dan negatif. Di antara dua elektroda itu terdapat elektrolit, yang bertugas membawa muatan-muatan listrik dari satu elektroda ke elektroda lain. Di sinilah Ismu dan kawan-kawan mengganti bahan elektrolit yang selama ini biasa dipakai dengan oksida elektrolit padat dari bahan serium-bahan mentah keramik. Hasilnya? Temuan yang mereka namai sel bahan bakar oksida padat (solid oxide fuel cell, SOFC) itu jauh lebih "ampuh" daripada fuel cell biasa.Sudah 15 tahun Ismu meneliti oksida logam ini. Doktor lulusan Universitas Sydney itu berpendapat, dengan mengembangkan teknologi fuel cell, Indonesia bisa punya posisi tawar lebih. Negeri ini memiliki sumber energi terbarukan berlimpah di tengah krisis bahan bakar minyak yang melanda dunia. "Pemakaian sumber energi alternatif sudah lama didengungkan. Road map energi alternatif bahkan sudah dibuat," kata Ismu.Ia merujuk target pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral: 17 persen konsumsi energi nasional pada 2025 harus berasal dari sumber energi baru dan terbarukan. Pada 2020, pemakaian energi alternatif sudah harus mencapai lima persen. "Sebagai ilmuwan, tugas kami adalah menyediakan dan memperbanyak teknologi itu," katanya.Ismu belum berpikir menjadikan temuan tim-nya sebagai produk massal. Untuk sampai ke produk komersial, apalagi massal, diperlukan dana penelitian miliaran rupiah. Ia sendiri merasa puas dengan hasil penelitian yang berbujet "minim": Rp 100-200 juta per tahun. Dana ini datang dari ITB dan beberapa lembaga donor. Ia mempersilakan tim lain melanjutkan penelitian dengan lebih komprehensif. "Yang penting, basisnya sudah ada," ujarnya.Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan ITB, mengatakan semestinya pemerintah serius menindaklanjuti temuan ilmuwan yang berpotensi menjadi industri energi. Dia menyebutkan negara-negara maju telah menjadikan teknologi sel bahan bakar sebagai industri masa depan mereka. "Amerika, yang dikenal sebagai penyumbang terbesar efek rumah kaca, sudah memakai fuel cell untuk bus-bus mereka, meski belum dikomersialkan," ujar Ketua Forum Biodiesel Indonesia itu.Ia cemas karena Indonesia, yang kaya bahan mentah sumber energi terbarukan, akan kembali menjadi pasar negara-negara maju. Kekhawatiran Tatang beralasan. Ingat kasus Wilson Walery Wenas, 44 tahun? Kepala Laboratorium Riset Semikonduktor ITB itu sukses menemukan teori dan teknologi baru sel surya. Hasil temuan itu membuat penyerapan sinar matahari menjadi listrik meningkat 20 persen dari model semula. Ini hasil disertasi Wilson saat menempuh gelar doktor di Tokyo Institute of Technology pada 1994.Temuan yang dipatenkan itu melambungkan nama Wilson. Ia diundang sebagai pakar teori baru sel surya di banyak forum ahli semikonduktor dunia. Ia dilirik kalangan industri sel surya di Jepang, Spanyol, Singapura, Thailand, dan Korea. Sebaliknya, ia tak berhasil menjajakan temuannya ke sejumlah pengusaha dalam negeri. "Seharusnya temuan Wilson bisa dipakai untuk memenuhi target kebutuhan 800 megawatt listrik dari sel surya pada 2025," kata Tatang.Menurut Tatang, penelitian dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih perlu digenjot, meski pasar dan industri belum merespons. "Masih ada sumber energi lain yang belum dieksplorasi, dari surya, air, angin, panas bumi, hingga keanekaragaman hayati," ujarnya.Kepala Pusat Riset Energi Terbarukan ITB itu telah membuat peta "gol" riset. Ia ingin ITB menjadi rujukan riset khusus untuk sumber daya alam yang nyaris belum tergarap. Di antaranya teknologi fuel cell dari oksida logam, juga pembangkit listrik dari turbin bayu atau angin. "Kami meminta peneliti tak berhenti mencari jalan alternatif," ujarnya.Pusat Riset ITB mengunggulkan empat riset lain: teknologi informasi, bioteknologi, pengelolaan lingkungan dan sumber daya air, serta penelitian seni rupa dan desain. Riset di bidang teknologi informasi terhitung yang paling banyak diminati. "Ini karena market drive-nya jelas dan tinggi, berbarengan dengan pertumbuhan kebutuhan daerah dan industri akan teknologi informasi," kata Indratmo Soekirno, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ITB.Tak cuma untuk dosen, ITB juga membebaskan mahasiswanya melakukan riset atau lomba. Lomba terbaru yang dimenangi tim mahasiswa ITB berlangsung di Okinawa, Jepang, Maret lalu. Dua dari empat tim yang dikirim ke lomba Large Scale Integrated Circuit itu berhasil membuat prosesor kecil, sederhana, tapi cepat. Mereka bahkan berhasil mengalahkan tim pembuat prosesor seperti dual core yang biasa dipakai untuk notebook.Satu tim lagi membuat prosesor berkecepatan 1 gigahertz dengan teknologi sederhana. "Mereka membuat prosesor mikro yang biasa dipakai untuk PDA-phone," kata Trio Adiono, dosen elektronik dengan spesialisasi chip design. Lomba ini telah mengilhami ITB merintis pembuatan personal computer murah buatan mahasiswa dengan dana hanya US$ 100 (sekitar Rp 1 juta).Di ITB, sebanyak 900-1.000 proposal masuk ke Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat tiap tahun. "Paling banter, kami menyeleksi 300 proposal penelitian," kata Indratmo. Pusat Riset tak hanya menyiapkan dana. Di tingkat hilir, ITB menyiapkan lembaga manajemen hak cipta yang bakal mengurusi paten-paten temuan penelitinya. "Ini karena hampir semua penelitian di ITB adalah teknologi baru yang aplikatif," ucapnya.Boleh jadi, karena teknologi terapan itu, banyak industri kini memilih membentuk konsorsium penelitian. Salah satunya di bawah naungan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan. Konsorsium penelitian yang diikuti perusahaan minyak seperti Pertamina, Medco E & P, Total E & P Indonesia, Chevron Pacific Indonesia, dan Petrochina Group ini didirikan pada April 2004.Para anggota konsorsium membayari riset bersama. Topik bisa ditentukan atau ditawarkan. Penelitian pun beragam, dari yang paling dasar sampai terapan. "Semua beruntung. ITB untung karena ada yang mendanai riset, pengusaha untung karena hasil riset aplikatif," ucap Indratmo.ITB pun telah mendirikan pusat riset di lahan seluas 3.000 hektare di kawasan Perumahan Deltamas, Bekasi. Di situ, kata Rektor ITB Djoko Santoso, akan dibangun laboratorium riset untuk program pascasarjana.Menurut Djoko, langkah ITB menggenjot jumlah riset dan tim pakar semakin memperteguh posisi mereka sebagai institusi penggerak pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. "Institusi ini telah mencetak lulusan yang punya daya saing global," ujarnya. Dari :majalah.tempointeraktif.com
No comments:
Post a Comment