Friday, August 10, 2012

Hidrogen Sebagai Basis Perekonomian Baru


Menurunnya cadangan minyak bumi dan meningkatnya kebutuhan sumber energi akan mendorong dilakukan usaha penghematan energi dan pencarian sumber energi baru sebagai alternatif. Disadari perlunya memikirkan sumber energi pengganti minyak bumi, khususnya untuk transportasi dan listrik, melalui inovasi teknologi yang berbasis energi alternatif. 
Ketergantungan pada minyak bumi harus segera ditinggalkan. Pada masa sekarang telah diyakini oleh banyak negara maju sepeti Amerika, Canada, Jepang dan Eropa, untuk menjadikan khususnya teknologi fuel cell sebagai energi alternatif pada masa perekonomian ”gas hidrogen” tahun 2025, dimana hidrogen akan menjadi basis pergerakan dunia menggantikan minyak bumi, dan bahkan tidak mungkin bahwa akan menjadi lebih cepat lagi dengan desakan kebutuhan masyarakat.
Jika emisi CO2 yang dihasilkan pada saat pengolahan sumber energi minyak bumi dimisalkan 100%, maka pada Tokyo-Gas Report 2009, gasoline adalah 98%, liquid petroleum gas (LPG) mencapai 74%, dan compress natural gas (CNG) menurun hingga 60%, sedangkan gas hydrogen hanya 44%. Di Tokyo telah diterapkan kebijakan penggunaan CNG sebagai bahan bakar truk angkut yang dalam 1 tahun mampu menurunkan kadar emisi CO2 di Tokyo mencapai separonya. Apalagi jika nantinya semua menggunakan gas alam dan bahkan hydrogen. Dorongan pemerintah Jepang dalam upaya aplikasi energi baru di masyarakat adalah membantu 50% dari biaya pembelian langsung ke konsumen. Hal ini disambut sangat antusias oleh masyarakat Jepang dengan adanya lonjakan tinggi permintaan sel bahan bakar untuk perumahan dibandingkan target pemerintah sendiri di tahun 2009. Hal ini dikarenakan terdapat rasa “gengsi” atau “mentereng” oleh konsumen karena rumahnya memakai sumber energi bersih.
Bagaimana dengan negara kita? Sementara ini pemerintah belum menerapkan kebijakan yang mendorong aplikasi energi baru terbarukan (EBT), yang mungkin dapat berupa pembebasan pajak atau subsidi financial seperti Jepang lakukan. Dimana pada saat ini selain fuel cell, angin, mikrohidro, solar cell dikenal pula biomassa untuk listrik. Hanya beberapa landasan kebijakan energi telah menerapkan target nasional untuk EBT, di antaranya dalam Agenda Riset Nasional terdapat rencara 2025 diharapkan energy mix EBT dapat digunakan hingga 5% atau sekitar 250 MW. Jaminan pasar untuk menggalakkan EBT di masyarakat adalah mengharapkan pemerintah mau memulai dari lingkungannya sendiri dengan pemakaian EBT pada gedung-gedung pemerintah dan sebagainya.
Sumber energi alternatif yang menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar utama telah banyak dikuasai oleh negara maju, sedangkan di Indonesia masih dalam taraf penelitian. Teknologi fuel cell yang menggunakan gas hidrogen sebagai bahan bakar, adalah teknologi yang ramah lingkungan dimana hasilnya hanya listrik, air, dan panas.
Dalam 5 tahun belakangan ini di BPPT, khususnya di Pusat Teknologi Material, telah dikembangkan teknologi fuel cell jenis polymer electrolyte membrane fuel cell (PEMFC) dengan proses dan bahan yang telah disubstitusi di lokal, misalnya: komponen stack fuel cell, separator grafit, serta proses pembuatan membrane electrode assembly (MEA) dengan membran elektrolit baru nanokomposit yang merupakan jantung reaksi gas hidrogen dan oksigen menjadi air tersebut. Di antara prototipe yang dihasilkan, telah mendapatkan penghargaan PII-Engineering Award Adikara Rekayasa 2006, ASEAN Outstanding Engineering Achievement Award 2006, Ristek Medco Energy Award 2008 dan skala internasional yaitu Asia Excelence Award 2009 dari Jepang.
Fuel cell adalah perangkat seperti baterai dimana sel di dalamnya mengubah gas hidrogen dan oksigen secara elektrokimia dengan menggunakan katalis menjadi elektron yang berarti arus listrik serta proton yang kemudian bertemu dengan oksigen menjadi air. Untuk mendapatkan sejumlah power, maka disusunlah sel sel tersebut secara seri, dengan nilai teoritis persel adalah 1.23 V dimana pada operasional hanya mendapatkan 0.9 V persel.
Tahun 2009 BPPT telah berhasil membuat prototipe 1 kW dengan sistim kontrol terpadu sehingga mudah dijinjing dengan ukuran kurang lebih 60x30x30 cm dimana kandungan lokal mencapai 50%. Keunggulan lain dari fuel cell ramah lingkungan ini adalah selain tidak bising sama sekali, efisiensi untuk mengubah gas hidrogen menjadi listrik mencapai 80%. Dibandingkan dengan sistim EBT lain seperti solar cell atau angin yang hanya mencapai 30%, fuel cell ini layak sekali diperhitungkan sebagai energi baru. Bergantung pada bahan bakar yang dipakai konsumsi rata-rata gas hidrogen adalah 8-10 L/min untuk 1 kW.
   
Sepeda motor dengan energi Fuel Cell oleh BPPT th 2009
Hidrogen adalah energi sekunder sehingga tetap harus diolah dari sumber energi lain, di antaranya selain gas alam adalah gasifikasi batu bara, elektrolisa air, elektrolisa metanol yang masih relatif mahal, terdapat pula perubahan biogas metan yang masih memerlukan energi panas. Untuk mendapatkan terobosan baru proses produksi gas hidrogen, proses bioteknologi, baik itu secara fotosintesis maupun fermentasi adalah pilihan terbaik untuk dapat menghasilkan hydrogen dengan tingkat kemurnian yang tinggi (>99 %) sebagaimana dikembangkan BPPT 2 tahun terakhir ini. Produksi gas bio-hidrogen biasanya melibatkan mikroba atau enzim. Sejumlah spesies jasad renik dari berbagai taksa dan tipe fisiologi mampu menghasilkan bio-hidrogen. Ini era paling menarik dalam pengembangan teknologi karena memungkinkan dihasilkan dari bahan-bahan organik yang dapat diperbaharui seperti: limbah bioindustri (limbah biodiesel), limbah pertanian mapun hasil pertanian (onggok, tetes, nira).
Gas hydrogen ini dapat dihasilkan oleh beberapa bakteri misalnya Enterobacter aerogenes, Clostridium butyricumBacillus pumilus, dll. E. aerogenes yang diisolasi langsung dari limbah biodiesel mampu memanfaatkan berbagai macam substrat, baik itu substrat murni dan sederhana, seperti: glukosa gliserol, dll maupun senyawa yang lebih kompleks dari limbah, misalnya: molases, pati singkong, nira aren, shorgum dan limbah biodiesel. Telah diujicobakan biohidrogen yang dihasilkan tersebut pada fuel cell untuk menghasilkan listrik menggunakan beban lampu hingga 50 W. Nilai ekonomi dari pengolahan biohidrogen ini hanya mencapai Rp. 90 per L hydrogen. Dengan adanya kajian BPPT mengenai bio-hidrogen tersebut, biaya produksi gas hidrogen bisa menjadi sangat murah.
Selain biomassa, air dan metanol yang dielektrolisa untuk menghasilkan gas hidrogen telah dikembangkan pula di BPPT dengan menggunakan metode hibrid untuk men-storage gas dalam bentuk padatan (metal-hydrid) sehinga didapati wadah yang compact dan ringkas. Pada 2009 lalu BPPT telah mempunyai model solar cell hingga 1 kW untuk mendapatkan gas hidrogen sejumlah 8 L/min melalui elektrolisa metanol air.
Pengkajian lain mengenai aplikasi fuel cell adalah pada otomotif, yaitu sepeda motor hidrogen dengan kapasitas 500 W, mampu digunakan pada 60 km/jam dengan konsumsi rata-rata 1 km/L hidrogen. Hitungan ekonominya berkisar antara Rp. 132 hingga Rp. 7.000 per liter untuk penggunaan gas hidrogen dari kemurnian rendah hingga tinggi (ultra high pure). Jika dirata-rata konsumsi sepeda motor yang menggunakan pertamax Rp. 170 per liter, maka jika nantinya gas hidrogen yang digunakan adalah jenis kemurnian rendah, harga akan sangat kompetitif.
Energi alternatif layaknya mendapat perhatian khusus untuk mempercepat proses atau akselerasi aplikasi di masyarakat, dimana Jepang, Brazil adalah salah satu dari sekian banyak negara dengan contoh konkret pemerintah yang berhasil memacu dengan subsidi langsung ke pengguna.
Oleh: Eniya Listiani Dewi, DR-Eng. (BPPT)